Thursday, 2 May 2013

DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DENGAN MENGACU PADA PRAKTEK PERADILAN


Mengingat kelemahan KUHAP tersebut, dalam menjalankan tugasnya penyidik harus dengan cerdik menggunakan definisi dokumen elektronik yang dapat diterima sebagai alat bukti. Pada dasarnya dalam praktik peradilan hakim sudah menerima dokumen elektronik sebagai alat bukti, meskipun hal ini mungkin dilakukan tanpa sadar. Dalam kasus-kasus pidana yang berhubungan dengan perbankan umumnya rekening Koran atau dokumen apapun yang berisikan data nasabah berikut laporan keuangannya dihadirkan sebagai alat bukti surat.
Padahal yang dimaksud dengan rekening koran sebenarnya adalah cetakan (print out) laporan keuangan nasabah yang dalam bentuk aslinya berupa dokumen elektronik (file komputer).
Prosedur system perbankan modern saat ini seluruhnya menggunakan komputer sebagai petugas yang secara otomatis mendebat rekening nasabah (misalnya pengambilan lewat ATM atau pengambilan melalui cek dan giro), atau secara otomatis menambahkan bunga atas dana nasabah. Seluruh proses ini dicatat oleh komputer dan disimpan dalam bentuk file.
Dengan demikian seluruh proses pembuktian kasus-kasus perbankan dalam kaitannya dengan dana nasabah sangatlah mustahil didasarkan pada dokumen yang aslinya berbentuk kertas. Kalaupun ada dokumen berbentuk kertas maka itu hanyalah cetakan file komputer pada bank yang bersangkutan.
Dengan diterimanya rekening Koran tersebut sebagai alat bukti surat maka hal ini dapat menjadi dasar bagi penyidik untuk menggunakan cetakan file komputer sebagai alat bukti surat.
Doktrin tentang hal ini juga diberikan oleh Subekti. Menurut Subekti pembuktian adalah upaya meyakinkan Hakim akan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak dalam perkara, dalam hal ini antara bukti-bukti dengan tindak pidana yang didakwakan.
Dalam mengkonstruksikan hubungan hukum ini, masing-masing pihak menggunakan alat bukti untuk membuktikan dalil-dalilnya dan meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan. Untuk itu hakim patut menerima dalil-dalil para pihak (jaksa ataupun terdakwa) tanpa harus dikungkung oleh batasan alat-alat bukti sepanjang dalil tersebut memenuhi prinsip-prinsip logika.
Untuk memperjelas pendapat Subekti tersebut, ilustrasi dibawah ini mungkin akan memberikan pemahaman yang lebih memperluas cakrawala berpikir : Pernah dipersoalkan, apakah selain lima macam “alat bukti” yang disebutkan dalam pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 164 RIB (Kini oleh KUHAP diatur dalam Pasal 184 ayat (1) atau pasal 283 RDS, tidak terdapat lagi alat-alat bukti lainnya.
Persoalan tersebut lazimnya dijawab, bahwa penyebutan alat-alat bukti dalam pasal-pasal tersebut tidak berarti melarang alat-alat bukti lainnya yang bukan tulisan. Pasal 1887 Kitab Undang-undang Hukum Perdata misalnya menyebutkan “tongkat berkelar” yang dapat dipakai untuk membuktikan penyerahan-penyerahan barang. Ada juga yang mengatakan bahwa bukti lain itu yang tidak berupa tulisan, kesaksian, pengakuan, atau sumpah, seyogyanya saja dianggap sebagai “persangkaan”, tetapi pendapat yang demikian itu tidak tepat.
Kita juga tidak boleh melupakan bahwa undang-undang yang kita pakai sekarang ini dibuat seratus tahun yang lalu. Dengan kemajuan dalam berbagai bidang teknologi yang pesat dalam setengah abad yang lalu ini muncullah beberapa alat baru, seperti fotocopy, tape recorder, dan lain-lain yang dapat dipakai sebagai alat bukti.
STUDI KASUS
Studi atas beberapa kasus menunjukkan adanya masalah kekuatan pembuktian dan bahkan yurisdiksi dalam penanganan kejahatan ini. Satu jenis kasus yang banyak dikeluhkan adalah ditembusnya system keamanan situs-situs web tertentu dan kemudian diubahnya data yang terdapat dalam situs tersebut.
Situs Web departemen Luar Negeri (www.deplu.go.id) merupakan salah satu situs web yang paling banyak mendapat serangan para hacker Portugal. Belum lepas dari ingatan pada periode 1997-1998 ketika dokumen elektronik berupa halaman web (web pages) dalam situs tersebut adalah informasi resmi pemerintah Indonesia.
Bahkan foto Menlu Ali Alatas dalam situs tersebut diubah sedemikian rupa menjadi tidak senonoh. Perbuatan hacker ini memenuhi dua kualifikasi kejahatan komputer.
Pertama, terjadinya perbuatan memasuki jaringan komputer orang lain tanpa ijin. Kedua, memanipulasi data yang terdapat dalam system komputer orang lain. Secara teknis hal ini dapat dilakukan dengan cara memasuki situs tersebut dan kemudian dengan tepat mengisi password yang diminta.
Mengingat ketatnya system keamanan situs Deplu tersebut maka satu analisa yang bisa diterima adalah adanya factor “orang dalam” yang memungkinkan hacker tersebut dapat menembus system keamanan. Mengingat situs Deplu merupakan bagian dari jaringan IPTEKNET yang menghubungkan BPPT, UI, ITB, dan lembaga negara lainnya, situs ini rentan terhadap orang dalam yang menyusupkan program pemecah password (cracker) di dalam system IPTEKNET.
Program cracker ini bertugas memeriksa direktori yang berisikan password yang sudah diacak dan merekonstruksinya menjadi password yang dapat terbaca. Atau dapat pula orang tersebut mengambil data password yang sudah diacak dari dalam system dan kemudian mengirimkannya kepada pihak lain untuk dipecahkan.
Setelah password dipecahkan maka dengan mudah pihak tersebut memasuki situs Deplu dan mengubah data yang ada sesukanya. Dari sudut teknis penyidik harus mengambil langkah-langkah dengan cepat dan tepat sehingga jejak si penyusup atau orang dalam yang bermain belum terhapus.
Yang pertama kali harus diperiksa adalah log in data yang tersimpan di dalam komputer yang disusupi. Log in data adalah informasi yang tercatat di dalam komputer yang disusupi (maupun komputer yang digunakan untuk menyusup) dan berisikan informasi nomor mesin apa saja yang telah memasuki suatu komputer tersebut. Dalam jaringan komputer seperti internet setiap komputer yang terhubung dari seluruh dunia diberikan identitas unik (misalnya 126.222.345).
Data ini akan tercatat dalam komputer yang disusupi termasuk aktifitas yang dilakukan sang penyusup. Mengingat begitu banyaknya komputer yang saling terhubung maka log in data ini akan menghasilkan catatan berupa file yang sangat besar ukurannya. Hal ini menyebabkan pengelola situs web biasanya menghapusnya seminggu sekali.
Untuk itu log in data ini harus segera disalin kedalam media penyimpan, misalnya disket, untuk kemudian disimpan sebagai bukti. Setelah log in data diperiksa maka akan diketahui identitas sang penyusup berupa nomor mesin yang ia gunakan untuk memasuki jaringan.
Namun masalah baru yang biasanya timbul adalah nomor tersebut terdaftar atas nama universitas dengan ribuan mahasiswa sebagai penggunanya, atau tercatat digunakan oleh orang-orang dengan identitas fiktif, misalnya sebagai penyewa jaringan internet dari internet provider.
Belum lagi mengingat koneksi internet melibatkan negara-negara di seluruh dunia maka dapat saja nomor tersebut tercatat di negara lain seperti Venezuela. Dengan demikian dalam kasus ini diperlukan kerja sama antar negara untuk dapat menangkap si pelaku.
Keterangan Ahli sebagai Pendukung
Mengingat teknologi komputer merupakan sebuah disiplin yang memerlukan keahlian tertentu, untuk itu perlu dihadirkan Keterangan Ahli dalam rangka memperjelas tindak pidana yang terjadi dan meyakinkan hakim. Pendapat yang banyak berkembang saat ini adalah sangat sempitnya ruang yang dapat digunakan penyidik membuktikan adanya tindak pidana yang berkaitan dengan komputer. Untuk itu dalam hampir semua kasus keterangan ahli merupakan titik sentral atau bahkan tulang punggung pembuktian.

No comments:

Post a Comment

Silahkan anda berbagi di sini ....???

Note: only a member of this blog may post a comment.